Wednesday 12 September 2012

Part 2 - Prologue Mahameru

Part ini bercerita tentang perjalanan gue di gunung yang gue impikan dari SMA, bahkan dari sebelum gue baca buku 5cm atau denger lagu Mahameru-nya Dewa 19. Yes, bagian ini adalah cerita pendakian Gunung Semeru. Setelah menanti kurang lebih enam tahun, akhirnya cita-cita ini terealisasi :) Selesai pendakian, kami main di daerah Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Anggota timnya gue sendiri, Resti, dan Imam ditambah teman-teman baru kami, Deden, Dei, Dea, Gerry, Gembol, dan Ciwa.

Pendakian Semeru, 27 Agustus 2012 - 3 September 2012.

Day 1 – Senin, 27 Agustus 2012

Kereta yang bakal gue huni semalem suntuk memang baru berangkat jam 2 siang dari Stasiun Pasar Senen, tapi jam setengah 8 pagi Resti udah jemput gue, dia minta bantuin packing sekalian transfer barang yang bisa gue bawa. Gue cium tangan dan cipika-cipiki sama mamah terus berangkat ke check point pertama gue, rumahnya Resti. Gue bantuin packingan Resti dikit sama masukin gas dan ponco yang menjadi jatah bawaan gue. Jam 9 pagi kami berdua berangkat ke Stasiun Bogor. Ketemu Imam yang udah beli tiket yang harganya Rp7.000 itu, terus kami pun naik ke peron. Jam 10:20 kereta Commuter Line yang kami tumpangi berangkat, rencananya kami mau naik sampe Stasiun Juanda terus nyambung naik busway ke Stasiun Pasar Senen.
waiting for ComLine
Jam 11:40 kereta kami sampai di Stasiun Juanda, langsung keluar dan naik busway, satu kali ganti bis, dan jam setengah 1 kami sampai di Stasiun Pasar Senen. Resti sama Imam masuk duluan, mereka masuk ke antrian, sedangkan gue ada urusan dulu. Jam 1 lewat 10 gue masuk, karcis gue disamain dulu sama KTP, dicap terus masuk. Pas gue masuk, pintu peron baru aja dibuka. Segerombol besar orang numpuk di depan gue, mau masuk ke peron juga. Gue nyari-nyari Imam sama Resti, setelah telepon dan diarahin Imam mereka ada di mana, gue jalan ke gerbong dua, Imam manggil-manggil gue dari dalem kereta. Jam setengah 2 gue udah di dalam rangkaian kereta, udah duduk kece di bangku berwarna abunya kereta Matarmaja.
di busway menuju Senen
Imam ngilang sebentar selagi nunggu kereta berangkat, balik-balik dia bilang dia ketemu rombongan Palembang yang mau ke Semeru juga, tiga orang, satu cewek, dua cowok, kebalikan dari kami, kedua cowok itu sempat mampir ke kursi kami sebelum kereta berangkat, ngobrol-ngobrol. Ngga lama, Imam ilang lagi, pas muncul lagi, dia bilang dia ketemu rombongan Bogor, katanya anak SMA dan mereka cowok semua. Wah lumayan dapet temen sekota walaupun anak SMA. Gue sempet mikir kayanya mereka ini mungkin sama kaya gue dan Resti, alumni sispala di Bogor juga. Ternyata memang begitu adanya, mereka alumni juga, sama kayak gue dan Resti, SMAN 4 Bogor, nama organisasinya Kampala.
on board, Matarmaja!
Kereta kami berangkat tepat seperti yang tertera di tiket, 14.05. Di depan gue sama Resti ada sekeluarga lengkap dengan dua anak perempuan yang masih batita. Bangku yang kami pesen tujuh, seperti jumlah awal rombongan kami. Sayangnya berhubung pada ngga jadi berangkat dan tiketnya dihanguskan, jadi tujuh bangku kami cuma dipake sama tiga orang, dan bapak itu serta ekor-ekornya pun ngambil jatah kami. Awalnya gue sama Resti duduk sama mereka, ngga lama Resti pindah sama Imam di bangku sebelah kiri, jadi gue sendiri. Keluarga ini rempongnya luar biasa, ya gimana ngga, dua anaknya masih kecil, belum ada tiga tahun. Sampe Resti bilang gue ngasuh -___-
Kurang dari empat jam di kereta, kami udah sampe Cirebon, gue buka puasa pake nasi rames (katanya) yang dibeli dari ibu-ibu yang lewat. Dalam waktu kurang dari setengah jam, gue udah menghabiskan hampir 1 liter air, hauuus hehehe. Di Stasiun Semarang Poncol, sekitar jam 11 malem, mas-mas yang duduk di depannya Resti sama Imam turun. Sesuai dengan perjanjian antara gue sama Resti-Imam melalui twitter sebelumnya, gue langsung pindah ke hadapan mereka, jadi keluarga bahagia itu bisa menikmati seat buat enam orang dengan leluasa.
bobo di kereta haha

Day 2 – Selasa, 28 Agustus 2012

Malam di kereta kami lewatkan dengan tidur yang ngga jelas sambil ditemani sahut-sahutan tukang dagang yang sampe lewat jam 12 malem masih hilir mudik. Ada yang dagang kopi, ada yang dagang popmi, ah segala macam lah pokoknya. Imam tidur di lantai kereta beralaskan matras, Resti sama gue tidur di bangku, berubah-ubah posisi. Dan gue sempet kesel banget ada orang yang nebeng duduk di kursi gue lamaa banget, padahal gue pengen tidur sambil baringan. Pas udah mau pagi dia baru cabut dari kursi gue, langsung deh gue rebahan di bangku.
Jam 6 lewat kami bangun dan melek sebisa kami, meskipun beberapa kali tidur lagi-tidur lagi. Kami udah masuk wilayah Jawa Timur, wah, gue perdana loh ini ada di Jawa paling kanan hehehe. Kami sempet ngelewatin daerah yang kanan-kirinya itu tebing tanah yang sepertinya siap longsor kapan saja. Selain itu, beberapa kali juga kereta jalan di atas rel yang merupakan jembatan dan kanan kirinya tuh langsung sungai yang jauh di bawah sana, tinggi banget.
Kereta kami tiba di Stasiun Malang Kota Baru sekitar jam 8:30, telat sekitar 45 menit dari jadwal yang di tiket. Kami semua turun dari kereta. Rombongan Palembang, rombongan Kampala, dan rombongan kami ketemu di peron lalu kenalan sedikit. Gue sama Resti ngga kenalan sama rombongan Kampala, cuma rombongan Palembang yang muter salaman sama rombongan Kampala, Resti, dan gue.
Kami keluar dari peron, masuk ke stasiun lagi buat beli tiket pulang. Kami menemukan bahwasanya tiket Matarmaja tujuan Jakarta udah abis sampe tanggal 13 September, okesip, yasalam. Akhirnya kami bertiga dan rombongan Kampala beli tiket ekonomi AC Gaya Baru Malam yang berangkat tanggal 2 September dari Stasiun Surabaya Gubeng dengan harga tiket 145.000 rupiah, tiket paling mahal yang kami beli sepanjang perjalanan. Dan fix gue ngga kuliah di hari pertama di semester terakhir gue kuliah.
Keluar dari stasiun kami carter angkot untuk ke Pasar Tumpang. Biasanya untuk mencapai pasar Tumpang kita harus naik angkot ke Terminal Arjosari baru lanjut ke Pasar Tumpang. Berhubung rombongan kami pas muat satu angkot – yaitu 12 orang, jadi kami langsung carter angkot ke Pasar Tumpang dan kebetulan ada yang nawarin juga. Harga ongkosnya sama aja kayak ngeteng, seharga Rp9.000, tapi setidaknya ngga perlu riweuh pindahin barang dari kendaraan ke kendaraan.
Sampe di Pasar Tumpang sekitar jam 10 dengan tragedi salah satu carrier yang ditaruh di atas angkot jatuh di pinggir jalan, juga nemuin sekelompok pohon gundul yang lucu namun ternyata adalah area pemakaman. Sejujurnya gue ngga percaya gitu sekarang gue ada di Pasar Tumpang dan sebentar lagi gue akhirnya bakal ketemu sama sang mimpi :3
Gue sama Resti beli buah pear sekilo di mobil bak di depan pasar, betenya dikasih yang busuk sebiji sama yang dagang. Terus gue sok-sokan pake Bahasa Jawa, kan ceritanya hasil dua bulan di Tegal haha. Habis beli pear, kami berdua beli makan buat makan siang. Kami beli nasi campur! Ahihi rindu sama makanan Lombok ceritanya, coba sekalian ada ayam Taliwang sama plecing kangkung gitu ya haha.
mau naik jeep!
Imam dan para lelaki – yang namanya belum gue tau satupun, nyari jeep yang bisa kami sewa untuk ke Ranu Pane. Kami dapat jeep barengan sama lima – atau enam gitu – orang lain. Pokoknya total kami 15 orang, masih 400.000 rupiah biaya naik jeep-nya. Gue sama Resti duduk di depan, sisanya berdiri di bagian belakang jeep. 
Sekitar jam setengah 12 kami berangkat menuju Ranu Pane. Jalan menuju Kabupaten Lumajang diaspal mulus banget, ngelewatin beberapa desa, kebun tebu, gerbang desa. Setelah ngelewatin perempatan sebelum daerah luarnya Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) jalannya masih aspal atau coran, lebar, bagus, dan rapi. Terus gue liat ibu-ibu naik motor dibonceng tapi dia duduk di atas setumpuk kayu, jadi posisi duduk dia setinggi kepala bapak yang ngemudiin motornya, ngeri banget haha. Lama-lama jalannya makin sempit, aspalnya ngga jelas, naik. Udah gitu jalannya juga berkelok luar biasa sampe ada yang letter U, kalo papasan sama kendaraan yang turun, apalagi truk, asli horror banget. Pernah sekali pas lagi belokan ke kiri dan naik dan jalannya udah pasir, begitu belok, ada truk mau turun, bapak yang ngemudiin jeepnya langsung banting stir ke kanan sambil nge-gas naik pelan-pelan dan sukses menghindari truk yang diem ngasih kami jalan buat lewat.
gerbang TNBTS :D
Nggak lama setelah ketemu truk itu, kami melewati pertigaan menuju Bromo dan memang terlihat padang savanna nya Bromo dari jeep, mirip Sembalun. Masuk wilayah Desa Ranu Pane, sebagian rombongan kami turun, karena mereka memang cuma sampe situ aja. Hal terpikir sama gue adalah, desa ini jauh banget, kalau mau ke kota, perjalanannya panjang dan transportasinya sulit. Gue langsung membatin “Ngga mau deh gue KKP di sini.” Tepat setelah gue bilang gitu di dalam hati, gue liat suatu bukti bahwa ada mahasiswa yang pernah KKN di sini, gue lupa sih bentuknya berupa apa, pokoknya ada tulisannya KKN-KKN, gue langsung terdiam haha. Dan selang beberapa bulan dari pendakian gue baru tau kalo temen gue sendiri ternyata PKL di situ hahaha.
SDN Ranu Pane
Kami sampe di kantor TNBTS Ranu Pane sekitar jam setengah 2 siang. Imam dan salah satu rombongan Kampala yang mukanya mirip sama satu orang lagi dalam rombongan itu (yang ternyata adalah saudara kembar) langsung ngurus registrasi. Beres registrasi kami ganti baju dan shalat di mushala. Rombongan Kampala siap duluan, gue sama Resti baru beres shalat dan langsung merapikan packing, dan carrier 45 liter punya Vani yang gue pinjem ternyata membludak dan ngga muat, sebagian barang gue taruh di dalem cover bag gue.
Kami start jalan jam 14:40. Pertama-tama kami jalan di aspal sampe ke gerbang jalur pendakian Semeru. Di gerbangnya itu tertulis ‘Selamat Datang Para Pendaki Gunung Semeru.’ Gue senang sekali, finally! Dari gerbang jalannya berpasir halus kecokelatan, mangkir ke kiri dilanjut ke trek agak naik sedikit. Di ujung trek ini kami nemuin jalan cabang, salah satu rombongan Kampala diem di situ, nanya ke gue.
“Nu, mau lewat sini atau lewat sini?” sambil nunjuk kedua cabang. “Yang ini jalannya naik tapi lebih pendek, yang ini jalur aslinya lebih landai.”
Gue serta merta berpikir pengen yang landai haha. Terus gue balik nanya, “Imam lewat mana?” karena Imam emang udah jalan duluan.
Dia bilang Imam lewat jalur asli yang landai, begitu Resti nyusul gue, gue nanya tapi terus langsung ngajak Resti lewat yang landai hahaha. Jalannya kayak di-paving block gitu, tapi sebagian sudah tertutup tanaman atau agak hancur. Target kami hari ini itu sampe Ranu Kumbolo, baru esok hari lanjut ke Kalimati. Perjalanan ke Ranu Kumbolo kami tempuh sekitar empat jam, lamanya karena nungguin gue sama Resti sih, jalan kami lumayan kemayu haha. Treknya sendiri sebenernya ngga terlalu berat, dominannya landai, dan banyak berpasir di beberapa tempat. Agak naik itu mulai dari pos 3 yang bangunannya sudah roboh, itupun nggak terlalu panjang naiknya, nggak kayak bukit-bukit di Rinjani yang amit-amit sadisnya.
POS 1
Dari Ranu Pane sampe Ranu Kumbolo kami lewatin empat pos. Pos 1 masih di area jalanan ber-paving blok, pos 2 ngga jauh dari pos 1, pos 3 yang bangunannya roboh, dan pos 4 sebelum Ranu Kumbolo.
Resti sama carrier Imam di POS 2
Oh iya, sewaktu kami sampe di Pos 2, kami papasan sama Bapak-bapak yang lagi jalan turun. Dari Bapak itu, kami dapet info kalau puncak Mahameru bisa didaki, aman katanya. Menurut Bapak itu lagi, kalau Semeru dibuka sampe Kalimati artinya puncak aman untuk didaki. Kalau dibuka cuma sampe Ranu Kumbolo baru berbahaya. Katanya Bapak itu udah sering naik Semeru, orang lokal kayaknya sih.
Kami sampai di Ranu Kumbolo sekitar jam 7 malam setelah dibimbing rombongan Kampala buat ngecamp di tempat yang cukup dekat untuk lanjut perjalanan esok harinya. Kami langsung bongkar tenda dan bongkar alat masak. Kalau waktu di Rinjani gue cuma seorang adik bungsu yang semua-muanya udah ditanganin mas-mas sama mbak gue, ya paling cuma buka tenda, ngambil air, sama cuci piring aja. Kali ini sumber dayanya cuma sedikit dan yang tau takaran masak nasi cuma gue jadi udah dipastikan gue selalu masak kalau emang mau makan nasi. Sayangnya usaha gue memasak nasi cukup gagal akibat kecerobohan gue sendiri, jadi malam itu kami ngga makan nasi, cuma makan supkrim sampe mabok haha.
Sampai saat itu, Ranu Kumbolo terasa amat dingin buat gue. Begitu sampe memang belum terlalu terasa karena badan gue masih panas abis jalan. Pas udah duduk di atas teras tenda yang hanya beralaskan ponco waktu mau masak, asli dingiiiinnn. Gue entah berapa juta kali bilang, “Ih sumpah dingin.”
Beres makan, rapiin alat masak sekedarnya karena dingin syekali, tutupin tenda pakai flysheet, lalu kami masuk ke dalam tenda, menghangatkan diri, lama-lama tidur. Pertama kalinya gue tidur di gunung, jaket lapis dua, kaus kaki lapis dua, sarung tangan hampir lapis dua, hidung ditutupi masker, dan masuk ke dalam sleeping bag dan tetep kedinginan. Sekian.

Day 3 – Rabu, 29 Agustus 2012

Pagi pertama di Semeru, satu kata, dingin! Gue bangun jam setengah 6, langsung ambil kamera, siap-siap menanti sunrise pertama di Semeru. Di luar tenda, for sure, lebih dingin lagi. Kami foto-foto sama sunrise sampe beku. Selesai foto-foto gue mulai masak nasi biar kami bisa cepet berangkat.
sunrise pertama di Semeru
Selesai makan kami packing buat lanjut perjalanan. Hari sudah panas sekali, padahal baru sekitar jam 8 pagi. Menyambung yang tadi malem, gue nyeletuk, “Ih sumpah panas.” Hahaha tipikal manusia jaman sekarang.
akhirnya di Ranu Kumbolo juga loh saya
Rombongan sebelah masih pada ketawa-ketiwi di depan danau. Kami mau jalan duluan, soalnya pasti kesusul. Kami berangkat jam 9:10 di jam gue, sedangkan mereka baru mulai packing.
rombongan sebelah lagi packing
Trek pertama yang kami hadapi adalah Tanjakan Cinta. Dari tenda kami tadi subuh, tanjakan ini memang terlihat landai. Sebenernya memang ngga terlalu curam kalau dibandingkan sama bukit-bukit menyebalkan di Rinjani, tapi tetep aja gue cape naiknya haha. Begitu start jalan di tanjakan ini, gue nyoba menjalankan mitos yang pasti udah pada tahu lah ya. Satu orang di pikiran gue,  berusaha nggak nengok ke belakang, dan berusaha nggak berenti.
Tanjakan Cinta

Sepuluh menit jalan masih bisa nahan-nahan nggak berenti. Imam yang jalan duluan udah godain gue sama Resti terus, “Ranu Kumbolonya bagus loh dari sini.” Dan segala macem lainnya dia ucapkan, tapi gue masih pengen mengukur kemampuan gue sejauh mana gue kuat nggak berenti, kalo nengok ke belakang mah ngga ada pengaruhnya. Yah seperti yang dapat diduga, gue akhirnya berenti, padahal sebenernya mah masih kuat sih itu kayaknya, soalnya gue sengaja jalan mode truk gandeng sama Beny kaya waktu di Bukit Penderitaan. Begitu berenti, gue langsung liat ke belakang, hiyaaa lucu syekali si Bolo-bolo nya hahaha :D
hampir selesai Tanjakan Cinta
Sampe hampir atas Tanjakan Cinta sekitar 20 menit setelah start jalan. Gue duduk di kiri jalan, di situ ada sedikit lahan buat istirahat, Imam udah di situ. Pas gue duduk Imam bilang ujung tanjakannya masih di atas lagi sambil nunjuk ke arah atas. Oh. Yaudahlah ya biarin aja, udah ngga pengen juga hahaha. Duduk sebentar, foto-foto. Lanjut jalan lagi. Begitu sampe di ujung Tanjakan Cinta yang sesungguhnya, aaaa Ayang gue keliatan! Mahameru nyembul di balik bukit, uuuu uuuu uuuu :3
Next track, Oro-oro Ombo. Trek ini memberikan pilihan dua jalan buat para pendaki. Pertama, membelah lingkaran bukit sepanjang Oro-oro Ombo atau kedua, melipir di sisi bukit di atas Oro-oro Ombo. Imam nanya kami mau lewat mana, kelihatannya lebih cepet opsi pertama. Kalau kata Imam sih, ibarat lingkaran, lewat bawah itu kayak motong di garis tengahnya. Jadi kami memutuskan lewat bawah meskipun turunnya lumayan nyebelin. Dan ternyata plihan kami tepat. Oro-oro Ombo ini lucu sekali, padang lavender kering yang lumayan luas and such a nice place to take a lot of pictures. Imam seperti biasa minta difotoin mulu, modusnya dia nawarin fotoin gue sama Resti, ujung-ujungnya dia minta fotoin -___- 
dry lavender
Selesai Oro-oro Ombo, kami masuk ke Cemoro Kandang. Di situ istirahat dulu sebentar. Gue sama Resti debat soal omongan Beny, tentang bukit menyebalkan yang katanya panjang banget. Kami lupa lokasinya setelah Cemoro Kandang atau setelah Arcopodo. Kami kira abis Arcopodo, karena kami sama-sama lupa, jadi iya-iya aja.
touch down Cemoro Kandang
Kami lanjut jalan, Imam jalan paling depan, Resti di tengah, gue paling belakang. Gue jalan lambat syekali, Imam-Resti jaraknya ngga terlalu jauh, Resti-gue agak lumayan hahaha. Ngga jauh kami jalan setelah istirahat di Cemoro Kandang tadi, rombongan Kampala nyusul kami, pas banget kami lagi duduk istirahat. Trek ini lumayan panjang, walaupun naiknya nggak terlalu sadis, tapi tetep aja cape, karena jalannya ngga abis-abis.
Selain sama rombongan Kampala, kami juga jalan bareng beberapa rombongan lain, rata-rata seumuran gue, mahasiswa gitu lah. Selain itu juga ada rombongan kecil tiga orang yang salah satunya itu porter, dua lainnya pendaki lokal, yang satu tante-tante, satunya lagi mas-mas. Kami salip-salipan sama mereka beberapa kali, kami duduk mereka lewat, mereka duduk kami lewat. Setelah beberapa kali istirahat bareng sama porternya, Imam diajakin si Bapak porter buat daki sampe Arcopodo hari ini juga. Imam nyampein ide ini ke gue sama Resti, gue sih hayu-hayu aja, biar lebih deket buat summit attacknya, Resti juga iya-iya aja.
Trek bukit ini lama-lama memisahkan gue-Resti sama Imam. Imam jalan agak duluan, kami berdua dikawal beberapa orang dari rombongan Kampala. Lama-lama kami jalan cuma bertiga; gue, Resti sama satu orang dari mereka. Sebelum trek bukit ini selesai, si anak Kampala ini – gue dulu belum tau namanya hehe, nanya sama gue dan Resti, mau jalan sampe mana. Gue bilang tadi sih diajakin Bapak porter itu buat daki sampe Arcopodo, tapi ngga tau kuat apa ngga haha. Kalau mereka sih sepertinya cuma sampe Kalimati, biar lebih deket ke air mungkin ya.
Udah deket sama Pos Jambangan, Mahameru keliatan lagi, sedikit lebih jelas daripada di atas Tanjakan Cinta tadi, gue nyeletuk, “Aiiih lucunya.” Eh si anak Kampala itu nyaut, “Makasih.” Hahaha. Sampe di Pos Jambangan, Imam udah di situ nungguin kami sambil ngobrol sama si Bapak porter. Begitu liat Imam, si anak Kampala yang tadi ngawal kami berdua bilang, “Udah ada Imam kan? Gue duluan ya.” Gue ngangguk. Begitu gue duduk taruh carrier di  situ, di space yang lumayan luas, gue lihat ke depan, dan uuuuu Mahamerunya jelaaas banget, subhanallah ganteng hahahaha.
Kami di situ istirahat lumayan lama, Imam mau nabung, Resti lagi duduk-duduk, dan gue memandangi kesayangan gue yang udah gue nanti begitu lama. Selesai Imam nabung, kami foto-foto sama Si Tampan, sempet bikin video juga. Tagline-nya begini:
Resti: “Kita di mana, Nuu?”
Gue: “Semeruuu!”
Resti: “Berapa orang, Nuu?”
Gue: “Tigaaa!”
And we did it so many times from the night before hahaha.
Puas foto-foto kami lanjut jalan, nyusul rombongan Kampala. Dari Jambangan sampe Kalimati treknya lebih banyak turunan sama landai. Mahameru juga jelas banget kelihatan, sesekali ketutup kalo kami lagi lewatin daerah pepohonan, terus kelihatan kalo udah di dareah terbuka lagi. I couldn’t stop smiling and couldn’t stop staring at the view, unyu syekaliiih :)
Tepat pukul 13:00 di jam tangan gue, kami sampai lah di Kalimati. Kami memutuskan ngga jadi ngecamp di Arcopodo karena kami bertiga sudah malas sekali jalan bawa-bawa carrier. Jadi kami pikir kalau sekarang ngecamp di Kalimati, ke Arcopodonya ngga usah bawa gembolan besar, biar ntar malem aja. Begitu sampe, nyari tenda rombongan Kampala, ngecamp bareng mereka lagi. Begitu sampe, kami langsung buka tenda, rapiin tenda, terus gue sama Imam siap-siap turun ke Sumbermani buat ngambil air.
Berbekal botol-botol kosong bekas kami minum, tas stroberi unyu gue, dan tas tissue-nya Resti, gue sama Imam jalan ke Sumbermani. Pas mau berangkat manggil anak-anak Kampala, sambil kami jalan, mereka nyusul. Jalan ke Sumbermani cukup menyebalkan, gue ngga liat jam sih tapi katanya sekira 20 menit. Hal yang paling menyebalkan dari jalan ke Sumbermani itu pasirnya! Selama jalan turun gue ngomoong mulu ‘ini-pulangnya-gimana-pasti-kotor-lagi’. Niat gue ke air kan ceritanya mau ngambil air sama wudhu, lah ntar nyampe Kalimati lagi paling kaki udah penuh pasir lagi.
Turun dari area Kalimati, jalannya pasir halus turunan curam dan bikin nyoledat. Lanjut ke jalanan datar, butir pasirnya lebih hitam. Lanjut lagi, jalanan sempit di antara batu-batu tebing lumayan lama, dan kemudian sampailah di Sumbermani. Ada dua aliran air, kecil banget airnya. Aliran yang pertama dikasih jalur pake dua tingkat seng. Satu lagi kata Imam sih pake seng juga, cuma gue ngga sempet liat. Begitu nyentuh airnya gue langsung pasang muka datar, dingiiin, gimana ceritanya katanya mau wudhu haha.
Sumbermani *Imam curang lupa fotoin gue!*
Imam sempet lanjutin nabung, tapi gagal kayaknya haha. Jadi abis ngambil air dan wudhu, gue sama Imam balik lagi ke camp, anak-anak Kampala masih nunggu temennya yang lagi nabung. Bener aja kan jalan pulang bikin kaki kotor berpasir lagi. Pas kami udah mau nyampe Kalimati lagi, terjadi sesuatu yang bikin gue syok dan masih kebayang sampe sekarang. Di jalan pasir halus itu, kami papasan sama dua orang cowo yang mau turun. Imam jalan di depan gue, dia udah nyampe atas, udah lewatin tanjakannya. Nah gue kan papasan banget sama dua orang itu, otomatis gue minggir ngasih jalan. Orang pertama lewat tuh, di belakangnya ada temennya. Pas gue liat mukanya, ehhhh itu kenapa T__T Mata kiri orang itu kayak abis ketusuk gitu, kelopak matanya ketutup dan berdarah, di pipinya juga ada kayak bercak darah yg udah kering gitu. Sumpah horror. Gue kan minggirnya ke kiri ya, jadi mata dia keliatan banget pas di hadapan gue. Gue syok banget.
Pas mereka udah lewat, gue langsung naik ke tempat Imam duduk sambil memasang muka horror dan mendesis, “Ituhh matanyah kenapaa Maaam?” Imam cuma nyengir aja. Kami jalan ke tempat camp lagi, dan gue yang dengan jelas melihat seperti apa bentuk mata orang itu masih syok. Gue ngomongin aja terus, “Ih itu lukanya kayak masih baru loh, Mam.” “Itu dia cedera gitu masa ga dibawa pulang sama temennya?” “Itu serem banget kayak ketusuk gitu loh.” “Ih sumpah gue kebayang terus, Mam.” Hahahaha. Atuh ya, Imam kan ngeliatnya cuma sekilas, ngga tepat di depan mata. Pas ketemu anak-anak Kampala lagi, gue mendesis lagi, ke salah satu kembar, “Eh lu tadi ketemu dua orang yang turun ke bawah ga?” “Liat.” “Itu matanya kenapa yak? Horor banget.” Dia nyengir kaya Imam.
Nyampe di camp gue berusaha kalem, buru-buru shalat, takut keburu flatus. Abis shalat, kami masak-masak dikit terus makan, eh Imam nyebut-nyebut soal yang tadi lagi, huft banget. Abis makan, kami rapiin isi tenda sama siap-siapin minum, bekel, dan kamera buat summit attack nanti malam, pake kostum buat summit attack juga, biar nanti ngga terlalu riweuh. Oh iya kami juga ngobrol-ngobrol ngebahas trek tadi siang, dan mengambil kesimpulan kalau yang dimaksud Beny bukit yang nggak beres-beres itu adalah dari Cemoro Kandang sampe Kalimati hehehe.
Rencananya kami mau start jalan jam 12 malam. Resti sempet ragu kuat apa ngga. Gue juga sempet ragu, malah sempet bilang ke Imam, “Yang penting salah satu dari kita nyampe puncak. Lu doang juga ngga apa-apa, Mam.” Tapi terus gue inget semangat gue waktu ke Rinjani dan ternyata gue bisa, inget betapa gue ingin menginjak Mahameru, inget berapa lama gue menantikan cita-cita gue ini terealisasi, gue pun yakin gue mau muncak. Gue Jam 5 sore gue tidur setelah pasang alaram jam 10 malam.
•••
Jam 10 malam alaram gue bunyi, gue sama Imam langsung bangun. Kami nyalain kompor, gue masak nasi terus masuk ke tenda lagi, shalat jama’ Maghrib-Isya dengan tayamum, beres masak keluar lagi. Dingin, serius, dingin. Gue jongkok di depan kompor sambil nungguin nasi. Pas gue berdiri, gue ngerasa kesepuluh jari kaki gue beku, yasalaam, padahal masih pake kaus kaki.
Nasi mateng, supnya mateng, kami makan di dalam tenda. Rapiin barang yang belum ke-pack. Gue bawa soulmate summit attack gue, si stroberi unyu, yang berisi sebatang cokelat, dua batang KitKat (you know why I brought KitKat kan hehe), susu kental manis cokelat dua saset, dan dua botol air minum berisi air kota. Resti bawa tas pinggang-slempangnya Imam, Imam bawa carrier Resti yang dikosongin.
Jam 11:45 kami udah siap keluar tenda, ngegembok tenda, pakai sepatu. Sepuluh menit kemudian kami nyamper rombongan Kampala yang juga udah siap. Kami bikin lingkaran, kemudian dipimpin sama yang kemaren ngawal gue sama Resti di Jambangan, kami semua berdoa, mohon keselamatan, kesuksesan, dan kekuatan. Sebelum tengah malam, kami memulai perjalanan ke Mahameru, puncak impian gue.

Day 4 – Kamis, 30 Agustus 2012 Part 1

Perjalanan summit attack awalnya gue jalani dengan penuh semangat kayak waktu di Rinjani. Kalau dibandingin sama Rinjani emang lumayan konstan sih semangat gue sampe akhir perjalanan ke puncak. Mungkin karena udah ada bayangan dari perjalanan sebelumnya, jadi mental udah lebih siap buat menghadapi kondisi trek yang sepertinya serupa.
Start dari Kalimati jam 12 tepat di jam gue, treknya cukup landai dan tetep berpasir halus, ngga lama ada turunan, terus masuk hutan. Hutannya mirip trek hutan Senarunya Rinjani sama trek Putri nya Gede, tapi tanahnya pasir jadi bikin bete soalnya debu ngebul. Di trek hutan itu sampe Arcopodo entah kenapa gue merasa semangat banget, didukung pula sama fisik yang masih kuat, dan ditambah lagi udah nggak bawa carrier, jadi nggak terlalu banyak istirahat atau diem. Awalnya gue jalan di belakang Resti, tapi lama-lama gue kebawa jalan cepet sama anak-anak Kampala, jadi gue duluan sama mereka, Resti ditemenin Imam.
Waktu lagi ngantri jalan karena pendaki yang naik sama kami lumayan banyak, gue ketemu sama mahasiswa IPB juga, angkatan 46 (masuk kuliah tahun 2009) juga tapi departemen Manajemen Hutan. Kami ngobrol dikit.
Dia nanya, “Dari mana, Mbak?”
“Dari Bogor.”
“IPB bukan?”
“Iya, IPB.”
“Jurusan apa?”
“IKK.”
“Oh, temennya Tunggir ya?” Dia nyebut salah satu temen gue di Pasma, namanya Andi tapi dipanggil Tunggir haha.
“Oh iya kenal ko.”
“Gue IPB juga, tapi MNH. Angkatan berapa?”
“46. Kalo lu?”
“Gue 46 juga, ini juga MNH 46, sama satu lagi angkatan 43.” *Kalo gue nggak salah ya hehe* “Lu yang bertiga itu ya?”
“Iya gue bertiga, tapi temen gue yang dua lagi diploma.”
“Oh gitu.”
Abis ngobrol, gue lanjut jalan lagi, nyusul rombongan Kampala. Sejujurnya gue nggak ngeh pakaian yang mereka pakai, jadi kalo mereka nggak pada ngomong atau bersuara, gue nggak akan tau itu mereka dan muka mereka pun gue masih lupa-lupa inget hahaha. Gue sampe di Arcopodo jam 1:05 bareng rombongan Kampala, setelah sebelumnya sempet istirahat dulu sekitar 10 menit, sampe mulyadi *kalo nggak tau artinya apa baca Rinjani Day 6 hehehe*. Di situ kami berenti lumayan lama, nungguin Resti sama Imam, kata salah satu dari mereka – kalo ga salah gue denger dia dipanggil Geri – bilang Resti mau turun lagi, lah macam mana ini orang kenapa malah turun lagi -___-
Sekitar 15 kami duduk di Arcopodo, Resti sama Imam nyampe. Begitu nyampe Resti langsung bilang-bilang ‘Dadah, gua sampe sini aja ya.” Gue spontan nyamperin dia sambil bilang, “Ape lu bilang? Gue kelikitik lu!” Setelah berunding sedikit, Resti akhirnya bener-bener ngga ngelanjutin perjalanan ke puncak :( Sedih sih sebenernya, kan kami mau berdiri bareng-bareng ke puncak Mahameru. Ini kan bukan cuma mimpi gue doang, tapi mimpi Resti juga. Tapi Resti tetep ga ngelanjutin perjalanan, dia numpang berteduh di tenda dua turis lokal yang ditemenin porter yang kemarin nawarin kami naik sampe Arcopodo itu. Akhirnya, dengan sedikit perasaan kecewa karena soulmate gue ga ikut muncak, gue lanjut jalan sama para lelaki.
Setengah dua kurang kami berangkat dari Arcopodo. Anggota rombongan gue ngga ada satupun yang kostumnya gue kenal kecuali Imam soalnya dia pake raincoat yang ada garis glow in the dark-nya itu. Jadi gue jalan aja, tanpa ngeh siapa depan gue, siapa belakang gue, pendaki lain juga rame banget.
Begitu nyampe Cemoro Tunggal, yang katanya pohonnya udah tumbang, gue liat ada beberapa nisan. Jujur ya, takut juga, apalagi kemarin ketemu seseorang yang bikin gue parno abis. Dari Cemoro Tunggal jalannya mulai naik, pasir serodot kayak trek awal Rinjani tapi ngga ada batu tebing besar yang membatasi dan bikin treknya jelas, jadi bener-bener terbuka. Jalan sekitar 2-3 jam gue masih bisa jalan sambil berdiri, tapi ke sananya efek udah lelah dan kecuramannya juga sepertinya udah meningkat, terpaksa merangkak.
Pendaki yang muncak pagi itu cukup banyak, kelihatan dari cahaya headlamp di belakang dan di depan gue. Satu yang paling gue sebel dari trek puncak ini adalah susssah banget nyari tempat buat duduk -___- Kalau mau duduk tuh harus milih batu yang bener-bener batu dan nggak rapuh, soalnya banyak batu yang bahkan dipegang aja ambrol. Biasanya yang paling bisa didudukin itu yang dipinggir-pinggir tapi – seperti yang diherankan oleh semua orang  gue kan takut ketinggian, jadi gue agak ngeri duduk di pinggir. Dan satu lagi yang bikin ketakutan gue kambuh, kalo gue lagi jalan di sebelah kanan, kadang-kadang di depan gue itu pasir turun, tapi turunnya bukan ke trek pendakian, melainkan ke lereng di kanan gue, kebayang kalo orang yang ngegelin… ah udah ah, ngga usah dilanjutin ya haha.
Satu lagi yang cukup, eh nggak, SANGAT bikin bete adalah, kalau gue nengok ke atas, cahaya headlamp dari pendaki yang udah duluan terlihat sangat jauh dan sangat tinggi, asli bete hahaha. Kalau liat ke arah bawah lumayan seneng, soalnya masih banyak yang di bawah gue hahaha. Yaa meskipun begitu ada juga kok hal yang menyenangkan dan sweet kalau menurut gue hehe. Jadi pas gue lagi jalan nih, gue teh ngerasa kayak ada orang di kiri gue, tapi agak jauh. Masalahnya, itu orang jalan di mana? Treknya kan cuma yang ini aja. Pas gue ngelirik ke kiri, ko familier ya bentuk tubuhnya? Aih itu bayangan gue sendiri yang dibentuk sama cahaya bulan! Kebetulan bulannya hampir full moon pas kami muncak itu. Posisi bulan udah lumayan di sebelah barat karena udah sekitar jam 4 pagi. Gue amazed sekali, how cool! :D Tapi gue ngga berani foto dan ngeluarin kamera, soalnya posisi tubuh nggak mendukung, lagian belum tentu keliatan.
Kembali ke cerita perjalanan, gue jalan paling sering ketemu Imam, paling sama salah seorang anak Kampala, tapi gue ngga ngeh itu siapa. Suatu kali gue mau istirahat, Imam lagi duduk sama orang, gue nyamperin mereka, bilang ‘ikutan yak’. Pas udah duduk gua baru ngeh itu anak Kampala, tapi nggak tau yang mana haha. Lewat jam setengah 5 gue mulai jalan sendiri, udah mulai capek dan stres. Pas nemu batu gede di depan gue, gue ngomong dalem hati, ‘Plis kasih tau gue kalo udah batu ini tandanya udah deket apa gimana.’ Gue nengok ke atas dan ke bawah nggak ada orang -___- Mungkin ada sekitar 20 menit gue jalan bener-bener sendirian, nggak ada pendaki lain yang bareng gue.
Gue jalan terus, motivasi dari diri sendiri udah hampir nggak ngefek, tapi mau minta disemangatin juga sama siapa, nggak ada yang gue kenal, malah nggak ada yang jalan sama gue. Treknya udah makin nggak santai, dingin juga, tapi yang amat gue syukuri sekali, di sini anginnya ngga heboh kayak di Rinjani. Gue nggak kebayang kalo anginnya kayak gitu juga, soalnya ada bagian tertentu yang treknya lebih curam dari trek bagian terakhir Rinjani itu. Moreover, pinggiran trek ini juga terasa lebih mengerikan buat gue, mungkin karena rapuh semua batuannya.
Jam 5 lewat, matahari udah mulai ngasih warna buat langit yang terakhir gue liat terang jam 5 kemarin sore. Gue ngeliat ke atas, dan cukup yakin masih jauh :| Because it’s always further than it looks heheu. Gue lanjut jalan, lambat banget karena udah cape dan masih nggak banyak pendaki yang bareng gue, cuma satu orang di depan gue dan satu orang lagi di belakang gue.
Langit di sebelah kiri gue indah banget warnanya, oranye tebal campur biru ringan, membatasi langit gelap sama langit yang udah diterangi matahari. Sayangnya gue ngga sempet foto karena gue takut ngambil kamera huhu. Dan sama seperti sewaktu titik-titik akhir pendakian ke puncak Rinjani, gue juga hampir nangis di bagian ini, tapi dengan alasan yang berbeda. Waktu di Rinjani gue hampir nangis karena kesel sama jalannya, tapi di sini gue terharu banget begitu sadar apa yang sedang gue lakukan. Gue akan segera bertemu Mahameru. Suatu kali gue nengok ke belakang, bukit yang kemarin gue lihat dari Oro-oro Ombo terlihat dengan jelas, lekukan punggungannya yang ditutupin pepohonan jelas banget kelihatan. Gue menghadap ke depan lagi dan mata gue berkaca-kaca terharu. Sekali lagi gue merasa begitu kecilnya manusia di bentangan alam seluas ini, bahkan setitik aja masih terlalu besar rasanya.
Jam setengah 6 gue dilewatin sama dua orang, mbak-mbak dan mas-mas, yang mana mbak-mbaknya dipegangin sama si mas-masnya, jadi jalannya cepet. Gue langsung sirik, ‘Ihhh, mau dipegangin juga sedikit mah, biar lebih cepet dikit.’ Tapi ama siapa atuh, gue sendirian haha. Eh Alhamdulillah mas-mas yang tadinya jalan di belakang gue kan udah nyusul gue gara-gara gue lambat sekali jalannya. Terus dia bantuin gue dikit, megangin tangan gue pas ada batu lumayan gede ngalangin jalan hehe.
Jam setengah enam lewat 10 gue udah lumayan bisa liat dataran puncaknya, dan akhirnya gue ketemu salah satu si kembar. Dia akhirnya jalan nemenin gue, di belakang kami ada si mas-mas yang tadi bantuin gue sama seorang bule, gue jalan paling depan. Gue jalan berenti-berenti, terus gue bilang ke si misternya, mau duluan apa kaga, dianya juga lagi berenti sambil ngos-ngosan. Yaudah gue tetep jalan di depan. Tapi ujung-ujungnya dia tetep nyusul ngeduluin gue. Gue ngobrol sedikit sama si kembar yang berjaket merah, ternyata dia satu tahun di bawah gue, anak konservasi di Universitas Nusa Bangsa, Bogor. Dia cerita kalau dia sempet bantuin tim SAR Sukhoi di Salak waktu itu, bagian jagain logistik makanan katanya. Terus katanya juga dia kayak ngedenger suara korban Sukhoi-nya gitu. Hiiw. Gue nanya, yang satu lagi tuh kembaran apa siapanya, ternyata emang kembarannya. Gue nanya lagi, kakaknya dia bukan, katanya sebenernya kakaknya dia, tapi di akte yang ditulis kakaknya itu si kembarannya, bukan dia.
Nggak lama abis ngobrol, gue ngeliat ke depan, gue liat seseorang dadah-dadah sama gue, dari jaket merahnya sepertinya itu Imam. Kami berdua jalan lagi sedikit, dan akhirnya trek naiknya selesai. Si kembar yang berjaket merah jalan duluan ninggalin gue yang berjalan lambat dan lunglai haha beda sama waktu trek batu-pasir-kerikil Rinjani udah selesai, gue semangat lagi jalannya.

lanjut ke Part 2 ya :D

Day 4 – Kamis, 30 Agustus 2012 Part 2

And finally, 30 August 2012, 06:00 GMT + 7, I reached the peak of my dream and also my fifth peak, Mahameru 3676 m asl :’DD alhamdulillah.
Gue langsung nyamperin Imam dan tiga orang rombongan Kampala yang udah sampe duluan. Gue langsung cengar-cengir lebar sama mereka, tapi begitu ngelihat plang puncak Mahameru, gue berkaca-kaca lagi, Imam ngucapin selamet ke gue. Ih itu gue pengen banget meluk orang, tapi nggak ada yang bisa gue peluk, soalnya entah kenapa gue sedikit lebih terharu nyampe Mahameru daripada nyampe puncak Rinjani.
gue lagi ritual :)
itu dinding kawah kelihatan sedikit
Gue nanya kawahnya di mana, Imam nunjuk ke satu titik. Gue nyamperin titik itu terus melakukan ritual nyampe puncak sendirian lagi. Sedih lagi kan sendirian lagi, padahal gue udah ngebayangin gue berdoa berdua di puncak sama Resti. Gue berdiri di pinggir puncak, dari situ kawahnya kelihatan sedikit. Gue nyanyi lagu ‘Syukur’ lagi dan berdoa serta bersyukur atas keselamatan gue sampe di puncak Mahameru. Nggak nyangka, setelah penantian enam tahun dan sering banget hopeless bisa ke sini, ditambah rombongan yang menyusut drastis, tapi ternyata akhirnya puncak gunung api tertinggi ketiga di Indonesia sudah gue jejak :’) Abis berdoa gue shalat Subuh *kok semacam terbalik ya hahaha*.
Gue balik lagi ke rombongan lelaki. Eh malah yang nyampe puncak cowok semua, ceweknya cuma gue sama si mbak-mbak yang dipegangin tadi itu, padahal tadi gue ketemu banyak rombongan yang ber-perempuan selama Kalimati-Cemoro Tunggal. Kami makan dan foto-foto sambil nunggu sisa rombongan yang belum sampe. Gue foto sama tulisan puncak, foto si stroberi unyu sama tulisan puncak, foto pake slayer Pasma, foto sama nisannya Soe Hok Gie. Gue nulis ‘251’ di pasir terus gue foto, tapi nggak jelas hahaha
fifth peak :'D
slayer Pasma :D
puncak kedua si stroberi unyu
harusnya ada Resti di antara gue sama Imam :(
Sewaktu lagi heboh foto-foto, tiba-tiba ada suara yang lebih heboh lagi. Suara Kawah Jonggring Saloko! Dia ngeluarin asap sambil bersuara ‘jedum, jedum’. Subhanallah, pertama kalinya gue ngeliat dari dekat dengan langsung kawah gunung berapi kayak begitu, awesome! Kawahnya batuk-batuk beberapa kali. Pernah sekali batuknya panjang banget, sampe asapnya tinggi banget ke langit, keren subhanallah :D
nisan Soe Hok Gie & Idhan Lubis
Gue jalan-jalan keliling tanah di puncak dan menemukan hal yang amazing lagi. Setidaknya ada lima gunung yang kelihatan dari puncak Mahameru. Di antaranya katanya Gunung Argopuro sama Gunung Raung. Di arah utara, bukit unyu yang tadi bikin gue nangis keliatan lagi :D
itu tuh bukit yang itu yang bikin gue nangis hehe
Sisa rombongan Kampala kumpul semua sekitar jam 7. Mereka foto-foto pake bendera merah Kampala sama slayer kuning mereka. Bodohnya gue, nggak kepikiran sama sekali foto bareng gitu kan, sesama sispala Kota Bogor, walaupun cuma gue sendiri gitu kan. 
Kampala
Selesai nemenin mereka foto, gue makan KitKat *punya gue sendiri, bukan punya bule Singapura hehe*. Mereka buka bekel yang adalah kentang bakar, gue ikutan makan hehehe. Jam 7:20 menurut jam gue, Imam ngajak gue turun duluan, rombongan Kampala masih mau di sana soalnya temen mereka – yang dipanggil Gembol sama Ciwa, baru nyampe puncak, jadi gue turun duluan sama Imam.
dua gunung di kejauhan, gue kurang tau ini gunung apa
DADAH MEYUU, MAKASIH YA SAYANG :* hahaha
Seperti yang sudah gue prediksikan, satu-satunya cara untuk menempuh perjalanan turun dari puncak Mahameru adalah dengan sosorodotan kayak waktu turun dari Rinjani. Bedanya, yang ini lebih ngeri karena banyak batuan lepas, dari yang segede kepalan tangan gue sampe segede kepala gue. Jadi gue nggak berani cepet-cepet soalnya masih banyak pendaki yang berjuang naik ke puncak.
Sekitar 10 menit gue sosorodotan, gue ketemu sama seorang cowo, kalo gue kira-kira kayaknya umur 17-18 tahun lah. Dia nanya sama gue, “Masih jauh nggak, Mbak?” Dengan kemampuan mengira-ngira jarak tempuh gue yang rada ngga canggih, gue bilang, “Setengah jam lagi deh kira-kira. Udah deket ko, tanggung, lanjutin aja.” “Iya, Mbak. Mau istirahat dulu. Mbak punya minum nggak?” Gue langsung buka tas gue, “Ada nih.” Gue nuangin sisa minum gue ke botol air mineral kosong yang di sodorin ke gue. “Makasih ya Mbak.” “Iya, gue duluan ya. Semangat!” Dia ngangguk lemes. Emang  kasihan sih kalau lihat mukanya udah capek banget kayaknya, mungkin gue juga gitu kali ya pas naik tadi haha.
Nggak lama abis ketemu si cowok tadi, gue ketemu mbak-mbak yang juga lagi istirahat sama temen cowoknya. Dia nanya berapa lama lagi, gue masih dengan ke-soktahuan-an gue, bilang sejam kurang. Dia langsung melotot ke temennya, “Gue ga jadi muncak! Gue mau turun aja!” Sebelum temennya jawab, gue nyamber, “Lanjutin aja, Mbak. Tanggung, udah deket kok!” Pas itu anak-anak Kampala juga udah turun, nyusul gue sama Imam.
Selain itu, gue juga papasan sama cewek yang diiketin webbing ke temen cowoknya padahal kalau gue nggak salah liat, tangan si cowok itu kayak cedera gitu. Sekitar jam 8, gue ketemu Mbak yang tendanya ditumpangin sama Resti di Arcopodo, dia jalan pake tongkat sambil dibimbing temennya dan Bapak Porter kemarin. Gue mikir, dia mau jam berapa nyampe di puncak, jam segini masih di sini.
Gue dikuliahin sama temen-temen gue yang udah duluan ke Semeru, jangan sampe lewat dari jam 8 masih ada di puncak soalnya angin dari arah kawah udah berhembus ke puncak, ngeri kan kalau sampe keracunan. Kalau Rinjani disaranin jangan lewat dari jam 10 karena anginnya kenceng, dan memang gue merasakan sekali betapa hebohnya angin di sana itu.
Pertama jalan turun gue bilang sama Imam, jangan jauh-jauh. Awalnya emang dia nungguin gue, dan masih keliatan di depan gue. Tapi gue kan ga bisa cepet, ngeri sama batu yang gelindingan terus. Bahkan gue sempet satu kali bikin batu segede kepal tangan gue gelindingan jauh banget, untung ditangkep sama Gembol yang jalan di depan gue. Lama-lama Imam jauh di depan gue, anak-anak Kampala juga satu-satu nyalip gue dan entah udah pada di mana. Gue jalan nyantai, sambil ngeliatin Kalimati yang kelihatan dari trek menyebalkan yang panjang sekali itu.
Sewaktu mulai turun dari puncak, gue udah ngomongin masalah blank 75-nya Semeru sama Imam, dan kami sepakat buat jalan tetep di kiri. Eh tapi kenapa di kejauhan gue liat Imam ngambil jalan ke kanan. Awalnya gue tetep di kiri, nggak ngikutin Imam, tapi mereka lama-lama nggak keliatan satupun rombongan gue yang gue liat masih di jalur yang bernar. Gue nyoba ke kanan, sekitar setengah jam gue jalan di kanan. Gue juga ketemu Ciwa setelah cukup lama jalan di kanan.
Pas udah hampir sampai Cemoro Tunggal, seorang mas-mas yang jalan di depan gue tiba-tiba bilang jalannya ke kiri. Gue, mas yang itu (panggil aja mas jaket biru), seorang mas lain, dan seorang mbak yang sepertinya temennya mas jaket biru, jalan ke kiri, manjat batuan rapuh yang nutupin jalan ke kiri. Ciwa yang jalan belakang gue keliatan ragu buat ngikutin kami. Kalau gue sih tahu emang seharusnya jalan di kiri, jadi gue langsung ngikutin mereka motong jalan. Gue ngikutin tiga orang di depan gue. Di Cemoro Tunggal, gue lihat anak-anak Kampala lagi nungguin adik bungsu mereka, Ciwa, soalnya emang cuma dia yang masih SMA.
Gue berhasil kembali ke jalur yang benar. Pas gue nengok belakang, Ciwa masih jauh di tempat gue mulai motong jalur tadi hahaha. Gue turun ke  Cemoro Tunggal. Imam udah turun duluan, gue bilang ke mereka kalau gue juga mau jalan duluan. Nggak lama gue jalan, dua orang dari mereka, yang nyampe puncak duluan sama Imam, nyalip gue, salah satunya Geri. Gue berenti gara-gara coverbag si unyu kebuka dan tali sepatu juga kendor. Gue lari ngikutin Geri dan temennya, soalnya treknya kan kayak di Senaru-Putri itu, eh lama-lama nggak kuaat! Jadi gue jalan kayak siput hahaha.
Di Arcopodo gue ketemu lagi sama mereka, tapi Imam nggak ada, gue lanjut jalan. Belum ada semenit gue pergi dari Arcopodo, Imam lagi duduk kecapean. Gue ikutan duduk, lepas jaket lapis luar gue, soalnya mulai kepanasan. Kami lanjut jalan ke Kalimati nyamperin Resti, tapi jalan kami berdua bener-bener kayak siput yang lagi pake efek slow motion hahaha. Anak-anak Kampala satu persatu nyalip kami, meninggalkan kepulan debu yang tebal yang bikin mata perih.
Selambat-lambatnya Imam, masih lebih lambat gue. Ujung-ujungnya gue jalan sendiri lagi, cuma satu kali ketemu sama pendaki yang lagi turun juga. Beberapa kali gue ngeliat Kalimati dari trek yang gue jalanin. Gue ngomel sendiri, ‘Daritadi cuma makin deket doang! Kapan sampenya sih!’ haha. Sekitar jam setengah 10, gue udah nyampe jalanan naik ke Kalimati. Di depan gue ada dua orang yang lagi jalan, di belakang gue nyusul satu bapak-bapak dan satu mas-mas. Setelah gue jalan lebih jauh lagi, ternyata dua orang depan gue itu Resti sama Imam -___- Gue langsung nge-‘Pus!’ terus dadah-dadah.
Sampe tempat camp kami lagi, anak-anak Kampala udah lagi pada minum anget-anget, pas gue lewat, mereka manggil gue, “Nu, ke sini dulu nggak? Ada susu nih.” Gue yang sedari turun muncak udah mules, bales teriak, “Nggak deh, gue mules hehe. Makasih yak.” Seperti cerita post-summit attack Rinjani, gue mules-mules lagi. Tapi kali ini nggak langsung, sempet ilang hasrat.
Begitu tenda dibuka terus rapiin isi tenda, gue ganti baju soalnya debu di celana gue luar biasa sekali padahal lapis dua pake raincoat birunya Bapak. Gue ngantuk dan capek. Imam udah tidur di dalem tenda, gue ikut tidur di dalem tenda juga, sementara Resti masak spaghetti. Pas gue mau tidur, gue denger anak Kampala ngajak ngambil air ke Sumbermani, Resti nolak soalnya lagi masak.
Tidur sekitar satu jam, gue bangun dan hasrat mules muncul lagi sedikit tapi gue acuhkan. Spaghettinya udah jadi tapi kata Resti ada yang ngga mateng soalnya kurang air. Akhirnya setelah ke-pending makan dari tadi malem, kami makan Spaghetti Bolognese :9 Kami bagi-bagi dikit ke tenda Kampala, soalnya lumayan banyak, dan sebagai ucapan terima kasih udah nemenin jalan juga hehe.
Beres makan perut gue berontak lagi, kali ini tak tertahankan beneran. Gue ngajak ke Sumbermani sekalian ngambil air juga. Eh pas kami udah siap, tiba-tiba Ciwa datengin tenda kami, ngasihin air satu jerigen. Waduh jadi nggak enak, udah ngambil jauh-jauh, berat pula, tapi ya Alhamdulillah. Tapi, gue jadi nggak bisa cari tempat tertutup di bawah sana dong -___- Akhirnya dengan berat hati gue nabung di sekitar situ yang cukup tertutup.  
Beres gue nabung, Resti sama Imam lagi packing. Gue ngikut packing juga. Jam 14:45 kami turun ke Ranu Kumbolo lagi, tetep duluan dari Kampala karena yakin bakal disusul hehe. Berangkat dari Kalimati, kami nemu 'teman' lama gue, untungnya cuma satu ekor. Tahu kan apa? Yak, betul! Monyet hahaha. Kami juga papasan sama beberapa rombongan yang mau naik. Ada segerombol mas-mas yang ngajak gue naik lagi – kebetulan pas itu gue lagi jalan agak jauh di belakang Resti sama Imam. Yakali naik lagi, turun aja nggak tau kuat apa nggak -___-
foto sama ayang :D
Selama perjalanan dari Jambangan sampe Cemoro Kandang kami papasan sama sekitar 3 rombongan pendaki bule. Sekitar 200 meter sebelum Cemoro Kandang, si kembar yang berjaket merah – yang namanya Dei, udah nyusul kami. Nggak lama dua temennya nyusul di belakangnya. Di Oro-oro Ombo, Resti minta difotoin yang banyak, jadi gue ngintilin mereka yang lagi foto-foto, gue entah kenapa nggak terlalu pengen banget gitu difoto, ya biasa aja hehe.
Oro-oro Ombo sama solmet :D
ini candid ini haha
Kali ini, kami melewati Oro-oro Ombo dengan melipir di bukit, dipimpin sama Geri, Gembol, dan satu lagi temen mereka yang gue belum tau namanya, pokoknya dia yang nemenin gue sama Resti di Jambangan itu. Di bawah, kami liat Ciwa sama Dea – kembarannya Dei – jalan di padang lavender kering itu. Lanjut ke Tanjakan Cinta, Resti jalan duluan sambil foto-foto.
Sekira jam 16:45 kami nyampe Ranu Kumbolo lagi. Tepat dua jam, setengahnya perjalanan naik kemarin. Begitu sampe, ya Allah males gerak banget, dinginnya udah mulai menusuk. Sambil begidik-gidik, kami bangun tenda, masukin matras, masukin barang. Tenda selesai diolah, gue masuk tenda dan nggak keluar-keluar lagi sampe besok pagi hahaha.
Jam enam sampe jam tujuh sore gue sempet tidur, sementara Resti sama Imam masak di luar. Gue udah nggak tertarik sama sekali buat ke luar tenda hehe. Akhirnya spaghetti, yang siang tadi belum selesai kami makan dan sudah dihangatkan lagi sama mereka berdua, dibawa masuk tenda dan kami makan di tenda. Abis makan, gue tidur lagi. Dinginnya kebih nggak manusiawi daripada hari pertama.
hampir full moon :)