Kami baru bangun tidur sekitar jam 8 pagi, haha.
Setelah turun gunung memang nggak pernah lagi bangun pagi karena gue sama Fanny
lagi libur shalat, yep gue kena pas banget begitu sampe puncak, sedangkan Fanny
kena pas sampe shelter 1 waktu jalan turun. Kami mandi terus siap-siap jalan.
Mbak Fina berangkat ngantor, kami masih nunggu kedatangan Beny, Borok, dan Mas
Itong. Dari yang gue denger kemarin sih rencananya hari ini mau ke Ngarai
Sianok sama Harau. Sampai jam 11 mereka belum jemput kami, soalnya mobil yang
sedianya mau kami pinjam ternyata lagi dipakai.
Sambil nunggu kabar mobil, gue sama Fanny keluar
rumah, cari brunch – breakfast lunch. Di depan jalan masuk
kompleknya Mbak Fina kami nemu warung nasi. Makan lah di situ. Sewaktu mau
bayar, kami gelagapan gegara nggak ngerti ibunya menyebutkan jumlah yang harus
kami bayar dalam bahasa Minang haha. Ibunya ngerti terus ngomong pake bahasa
Indonesia. Kebetulan di situ ada seorang bapak-bapak yang lagi nongkrong
nampaknya. Dia nanya kami dari mana, kami bilang kami habis daki Kerinci. Eh si
bapaknya langsung cerita kalau dia pernah ke Kerinci juga tahun 1994, bapaknya
langsung cerita-cerita segala macam, kami manggut-manggut dan sesekali
nimpalin.
Selesai makan, kami berdua balik lagi ke rumah Mbak
Fina. Nggak lama kami nyampe rumah, Mas Itong telepon katanya mereka sudah
berangkat mau jemput kami. Sekitar jam 12 siang, kami akhirnya berangkat buat
jalan, yuhuu. Tujuan pertama kami hari itu adalah Lembah Harau. Lokasinya agak
jauh karena nggak di Kota Bukittinggi, melainkan di Kabupaten Lima Puluh Kota,
ngelewatin Kota Payakumbuh dulu. Nah karena lokasinya paling jauh, jadi kami ke
sana dulu, kalau Ngarai Sianok dan yang lain-lain masih bisa besok sebelum
pulang.
kece banget kan tuh tebingnya |
Sekitar satu jam perjalanan dari Bukittinggi kami
sampai di Kecamatan Harau, dengan Borok sebagai driver yang lagi latihan jadi
supir travel Sumatera dan Mas Itong sebagai guide. Begitu masuk ke jalan menuju
lembahnya, terlihatlah tebing-tebing kece di kejauhan. Kami masuk ke kawasan
wisatanya, Mas Itong ngarahin ke tempat air terjun. Eh ternyata dari jauh sudah
keliatan air terjunnya kering, cuma sedikit air yang terjun dari atasnya.
rumah gadang dengan background tebing |
Kami putar balik terus berhenti sebuah tanah
lapang. Di situ ada rumah gadang yang lagi dibangun, besar banget rumahnya. Di
belakang rumah itu ada tebing yang kece banget, kami foto-foto. Naik mobil
lagi, muter-muter di kawasan wisata situ. Mampir, foto, dan teriak-teriak di
Lembah Echo-o-o-o *echo juga ceritanya*. Pokoknya mampir sana-sini, foto sana
sini, heboh sana-sini.
lembah echo |
Kami sempat istirahat minum sebentar di salah satu
warung yang ada di situ. Sambil minum, Beny buka peta menuju Maninjau di
GoogleMap, kata Mas Itong kalo ke sana bakal lewatin kelok 44. Pas lihat
petanya, idih, liatnya aja mual, padahal gue nggak pernah mabok kalo lagi
perjalanan haha. Kami cabut dari Harau sekitar jam 3. Borok menjalankan aksi
supir travel Sumatera lagi haha.
lembah echo lagi |
Lagi asik ngobrolin durian Sumatera, tetiba Borok
minggirin mobil. Sekilas gue liat ada pedagang durian di pinggir jalan,
kebetulan gue duduk di sebelah kiri jadi bisa lihat, muka gue langsung expressionless, mampuslah. Dan benar
kan, mereka pada mau menyantap durian, ya ampun lah. Mas Itong turun duluan,
langsung nanya ke ibu-ibu penjualnya. Habis nanya, Mas Itong duduk agak jauh
dari durian-durian di display dagangan haha. Yak, bukan cuma gue yang musuhan
sama durian di antara kami berlima hahaha.
Fanny, Borok, sama Beny heboh banget nawar sama
milih durian sambil cengin gue sama Mas Itong yang cuma nyengir-nyengir kecut.
Pas durian kesekian dibuka, ampunlah, bauuuuk banget, gue sama Mas Itong
langsung lari keluar kios durian si ibu. Mereka ketawa-ketawa liat kami
lari-lari. Entah setelah berapa durian mereka buka, akhirnya mereka minum air
yang dituang ke kulit duriannya, katanya sih biar nggak bau. Naik mobil lagi,
gue buka jendela lebar-lebar, Mas Itong di kursi depan juga buka jendela
lebar-lebar.
Tadinya Mbak Fina sama Mas Hasnim mau gabung sama
kami, tapi ternyata baru pada balik kantor jam 6 sore. Jadi kami lanjut
perjalanan ke Maninjau. Kami nggak jadi lewat kelok 44 itu, lewat jalan lain
yang ditunjukin Mas Itong. Kami balik ke Bukittinggi lagi, lewatin gua-gua
buatan Jepang terus lewatin Ngarai Sianok. Terus lewat jembatan, nah dari
jembatan itu kelihatan satu tebing muncul sendirian, namanya Tabiang Takuruang
(Tebing Terkurung), unik dan kesepian.
Setelah lewatin jembatan sempet beli bensin dulu.
Gue lupa siapa yang bilang, pokoknya istilahnya Pertamini haha. Jadi bensinnya
bukan kayak bensin eceran yang biasa gue liat di Bogor. Pakai pompa dan selang
macam di pom bensin biasa, tapi wadah bensinnya tuh tabung bening yang ada
ukuran literannya gitu. Dari Ngarai Sianok lanjut ke jalan shortcut, awalnya jalannya kayak di antara tebing gitu, keren
banget. Terus masuk ke jalan sempit, berkelok, dan banyak semak kayak waktu ke
Jambi kemarin.
Pertamini :)) |
Borok seneng banget bawa mobil di jalan itu, gue
sama Fanny heboh kalo dari arah berlawanan ada mobil, soalnya jalannya kan
sempit banget. Jam setengah 6 kurang, kami sampai di Puncak Lawang, kami mau
lihat Danau Maninjau dari atas. Puncak Lawang ini masuk daerah Kecamatan Matur,
Kabupaten Agam, yang juga merupakan tempatnya olah raga paralayang.
Danau Maninjau dari Puncak Lawang |
Kami menanti sunset
di pinggir atas Danau Maninjau. Di sekitar spot
sunset ada beberapa warung, kami makan indomie, ngopi, dan ngobrol-ngobrol
sama yang punya warungnya, ternyata orang Ciamis *atau Ci-apa gitu ya, lupa gue
hehe, pokoknya Sunda*. Kami duduk di kursi plastik reot di pinggir atas danau
yang adalah spot buat liat sunset.
ngindomie |
Waktu sunset-nya datang kami semua sibuk foto-foto. Cuacanya sedikit berawan, menurut si Mamang yang punya warung itu, kalau lagi cerah, di belakang bukit di hadapan kami itu bakal kelihatan laut.
sunset Maninjau |
Kami betah banget foto-foto siluet dengan
background sunset-nya Maninjau sampai
diusir sama yang jaga haha. Jam 7 kami cabut dari Puncak Lawang, udaranya
berkabut. Jalannya semakin ngeri kalau sudah malam, sempit, banyak kelokannya,
ditambah nggak ada lampu jalan juga. Kayaknya di Sumatera ini jarang ya, ada
jalan lurus lempeng gitu kalo di daerah-daerah.
gue sukaa sekali sama foto ini :D |
Sampai di Bukittinggi lagi, kami jemput Mas Hasnim
terus jemput Mbak Fina. Kami makan malam di tempat pecel lele setelah bingung
muter sana-sini haha. Selesai makan kami jalan ke arah pasar bawah Bukittinggi
ngomongin durian lagi, dan yak, mereka makan durian lagi di pasar bawah, ampun
ya. Gue sama Mas Itong memisahkan diri lagi, nongkrong di trotoar di belakang
bapak yang jual duriannya. Gue bilang, ‘Aduh tadi siang orangnya cuma berlima,
lah ini tujuh orang, matilah.’ Mas Itong ketawa miris mengiyakan ha ha.
Habis mereka semua makan durian lagi, kami lanjut
jalan, bingung mau ke mana lagi, akhirnya ke Baroena lagi haha. Ngopi-ngopi,
ngobrol-ngobrol, Fanny udah setengah tewas, matanya setengah terpejam. Akhirnya
kami cabut dari situ sekitar jam setengah 12, sempet balik lagi karena botol
minumnya Fanny ketinggalan. Kami diantar pulang ke rumah Mbak Fina. Gue nggak
mandi lagi, ganti baju tidur terus langsung tidur, last night at West Sumatera
:)
No comments:
Post a Comment